Dear Bunda,
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, "Ibu, dapatkah memberi tahuku > nama tempat ini?" > Ia menatap aku lembut, lalu menjawab. "Sure lof, it's Edensor..."
***
Itu ending dari Edensor. Salah satu buku yang paling aku suka. Aku masih ingat membelinya pada tanggal 2 Januari 2007. Lebih dari 5 tahun lalu. Sejak dulu aku selalu ingin sekolah ke luar negeri. Sebab pada dasarnya aku selalu ingin sekolah dan belajar. Karena aku selalu merasa bahwa aku harus belajar terus untuk lebih maju dan lebih baik lagi. Mengapa keluar negeri? Karena aku ingin melihat kebesaran Allah. Mendatangi tempat yang belum pernah aku datangi. Menemui orang berbagai rupa dan warna. Merasakan cuaca yang belum pernah aku rasakan.
Saat kuliah S1 aku punya seorang dosen seorang doktor lulusan Prancis. Namanya Pak Nanang. Dia mengambil spesialisasi Fisika Plasma. Dalam satu semester dia hanya masuk 2 atau 3 kali. Bahkan pernah ia tidak masuk sama sekali. Sekalinya ia masuk, sambil mengajar ia merokok 3 sampai 4 batang. Meski tidak tahu detail keahliannya karena ia jarang mengajar, kami (aku dan teman-teman) sepakat bahwa ia orang yang pintar. Terutama karena label lulusan Prancis yang ia sandang. Tentu saja penilaian itu dangkal dan tidak dapat dibenarkan. Hal yang aku tekankan di sini adalah sekolah ke luar itu kita akan memiliki paradigma dan cara pandang yang akan jauh lebih maju dari pada sekolah di Indonesia apalagi jika dibandingkan dengan orang yang tidak sekolah sama sekali. Namun patut diingat juga satu hal penting lain, kita bisa dapat ilmu dari bersekolah. Namun kebijaksanaan tidak selalu dimiliki oleh orang yang merasa berilmu sekalipun.
Di ujung-ujung semester perkuliahan aku mulai keranjingan musik Jepang. Aku juga suka video game sejak lama, meski tidak pernah addict. Suka beberapa anime juga meski tidak pernah keranjingan berlebihan. Entah sejak dari kapan momennya tiba-tiba aku beritikad ingin kuliah S2 ke Jepang. Dari sisa tabungan mengajar aku mulai membeli beberapa buku bahasa Jepang. Aku juga ingat pernah membeli kamus kanji fotokopian dari tukang buku loak di dekat kampus. Aku sempat antusias sekali belajar pada waktu itu. Sangat antusias browsing-browsing website universitas jepang juga. Hingga setelah lulus, aku mulai kehilangan arah. Aku mulai bekerja dan bingung mau mengambil jalan hidup kemana. Aku mulai keasikan dengan mencari uang dengan rutinitas 9-9. Ya pada awal aku kerja terkadang aku bisa 12 jam di kantor.
Tak terasa 3 tahun aku bekerja hingga tiba awal 2011. Pada waktu itu aku sudah kerja di kantor kedua sejak lulus kuliah. NFS, New Frontier Solutions. Pada satu hari di bulan Maret jika aku tak salah aku iseng browsing website kominfo dan melihat pengumuman opening beasiswa kominfo. Sebenarnya satu tahun sebelumnya aku pun pernah browsing, dan sempat menyimpan formulirnya di hardisk. Namun awal 2010 adalah ketika aku baru pindah ke NFS. Masih sibuk dengan transisi dan tak bisa fokus. Lagi pula pada waktu itu aku masih blank dengan mahkluk yang bernama TOEFL dan TPA. Entah dapat energi dari mana di tahun 2011 meski aku ada di kondisi yang sama, kurang banyak kelengkapan aplikasi, aku membulatkan niat untuk submit aplikasi. Jika tak salah aku baru mempersiapkan semuanya di 3 minggu sebelum deadline. Di hari ketika aku membulatkan niat itu aku langsung menelepon penyelenggara TOEFL dan TPA. Langsung mengalokasikan jadwal yang memungkinkan aku mendapat hasil nilai yang aku perlukan sebelum deadline beasiswa. Kemudian aku juga langsung membeli buku TPA dan membongkar buku TOEFL yang pernah aku beli. Beruntung aku mendapat jadwal satu minggu sebelum deadline beasiswa. Dan hasil skor yang aku perlukan bisa diambil dalam waktu kurang dari 1 minggu sebelum deadline. Pada kondisi biasa aku umumnya sudah menyerah duluan dalam situasi seperti itu. Namun sekali lagi, tak tahu dapat energi dari mana aku sangat nothing to lose sekali saat itu. Just try and don't care about the result. Sejak membaca Edensor aku selalu ingin pergi melihat dunia. Kata banyak orang pergilah ke Eropa dan kau akan melihat dunia.
Meski telah beritikad untuk belajar semaksimal mungkin sebelum TOEFL dan TPA, pada akhirnya aku tidak belajar terlalu banyak, bahkan hampir tak belajar sama sekali. Pada saat test pun aku hanya ltepas saja. Tak berharap banyak. Jika pun skor tak cukup artinya aku memang tak bertakdir untuk mengirim berkas beasiswa. Tapi takdir berkata lain. Kedua skorku cukup dengan persyaratan beasiswa. Bagi banyak orang TOEFL 553 mungkin nilai yang sangat kecil. Namun bagi aku itu adalah buah sebuah perjuangan dan keberuntungan. Nilai itulah yang menyelamatkan aku sehingga bisa mengirimkan berkas beasiswa di satu hari deadline beasiswa kominfo 2011. Aku bermotor dari Jonggol ke Monas setelah semalamnya tak tidur menyiapkan berkas-berkas ini. Meski aku gagal, tapi aku juga tak pernah menyangka semua cerita itu menjadi salah satu karunia terindah. Aku bertemu dengan calon istriku di Juni 2011 dan kami menikah di November 2011 lalu kami pun berpisah sesaat sejak 24 Maret 2012.
Dengan menulis ini tiba-tiba aku mendapat refleksi untuk selalu nothing to lose seperti yang pernah bunda katakan pada aku. Menariknya aku mendapat insight ini justru dari sesuatu yang pernah aku jalani sendiri. Dua minggu ini adalah sebuah penentuan dan penantian. Tapi sekarang aku ingin menjadi seseorang yang just try and don't care about the result. I just enjoy the process. Success is continuous process toward our goal. So even though sometime we fail in life, as long as it bring as closer to our goal then it's mean we are success. Insya Allah apa pun hasilnya dari 2 minggu yang mungkin akan penuh tanda tanya, aku ingin tawakal.
Semoga saja beberapa minggu dari sekarang aku bisa bertanya pada seorang gadis berkerudung tercantik sedunia. "Could you please tell me what is the name of this place, dear?"
Dan gadis tercantik itu akan menjawab dengan suaranya yang sangat indah, "Sure hubby, It's Ilmenau..."
PS: I love you, I won't give up for us.
No comments:
Post a Comment